Jumat, 09 Desember 2011

Tugas Blog Risna Wati

FILSAFAT PENDIDIKAN SAINS



BAB I
PENDAHULUAN

Manusia dituntut untuk bisa lebih bijak dalam menyikapi hidupnya. Begitu pun dalam segala tindakan. Untuk itu, seseorang harus mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, seimbang dan sinergis. Artinya, seorang manusia harus mampu memaknai hakikat dirinya sebagai manusia dan segala apa yang ada pada dirinya secara integral (`adil). Dia dituntut untuk dapat menyeimbangkan peranannya sebagai makhluq Tuhan dan peranannya sebagai makhluq sosial. Setelah itu, tentulah sedikit demi sedikit kualitas dirinya akan mulai terbangun.
Manusia memiliki makna dan peran yang kompleks pada dirinya. Manusia selain adalah makhluq dalam artian sebagai ciptaan, juga diartikan sebagai homo socious (memiliki peranan dalam ber-sosial). Manusia sebagai ciptaan berkewajiban mengikuti apa yang menjadi keinginan, tuntutan, dan kehendak Sang Penciptanya. Seorang manusia akan baik di hadapan-Nya ketika mampu mengikuti norma-norma yang telah digariskan oleh-Nya. Manusia dalam peranannya sebagai homo socious senantiasa berinteraksi dengan individu lainnya. Artinya, tidak dapat dipungkiri akan adanya etika dan estetika yang harus dijalankannya. Seseorang akan dianggap baik oleh masyarakat/komunitasnya ketika menjalankan norma-norma yang berlaku sekaligus menghormati dan mengindahkan etika dan estetika yang ada.
Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992: 288). Dasar ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah subtansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Pendirian Islam bahwa manusia terdiri dari subtansi, yaitu meteri dari ilmu dan ruh yang berasal dari Tuhan, maka hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat. Artinya setiap manusia sebenarnya telah memiliki sebuah radar hati sebagai pembimbingnya. Oleh karena itu memegang teguh kata hati nurani merupakan tantangan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi perubahan kehidupan yang demikian cepat dan dinamis dewasa ini (Agustian A. G : 2000).
Manusia dilengkapi dengan kedua unsur yang disebut unsur jasmani dan rohani, namun diri yang sebenarnya terdapat pada unsur rohani. Sehingga Sukidi (2004) memandang manusia yang berkualitas dalam tiga tingkat kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Tetapi kecerdasan spiritual lebih memberikan pengaruh yang berarti terhadap tingkat kualitas manusia.
Suparlan memberikan gambaran bahwa manusia adalah makhluk yang unik yang memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Dengan berbekal daya cipta, rasa dan karsa tersebut manusia mengenal dunia sekelilingnya dan dapat mengenali dirinya sendiri. Dengan potensi akal pikiran menusia mengatasi persoalan kehidupannya secara matematis menurut azas-azas penalaran deduktif dan induktif. Dengan potensi rasa manusia mengatasi persoalan kehidupannya dengan pendekatan estetika menurut azas-azas perimbangan. Dengan potensi karsa manusia mengatasi persoalan kehidupannya melalui pendekatan perilaku menurut azas-azas etika. Melalui ketiga cara ini manusia menemukan nilai-nilai kebenaran. Ketiganya dipedomani untuk dapat berkehidupan secara berkualitas.
Jalaluddin (2003) menjelaskan bahwa manusia memiliki dimensi; hakikat penciptaan, tauhid, moral, perbedaan individu,sosial,dan ruang dan waktu. Secara lebih jelas, keistimewaan dan kelebihan manusia, diantaranya berbentuk daya dan bakat sebagai potensi yang memiliki peluang begitu besar untuk dikembangkan. Dalam kaitan dengan pertumbuhan fisiknya, manusia dilengkapi dengan potensi berupa kekuatan fisik, fungsi organ tubuh dan panca indera. Kemudian dari aspek mental, manusia dilengkapi dengan potensi akal, bakat, fantasi maupun gagasan. Potensi ini dapat mengantarkan manusia memiliki peluang untuk bisa menguasai serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sekaligus menempatkannya sebagai makhluk berbudaya.
Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: "apakah manusia dapat dididik?. Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik? Kedua pertanyaan itu sejak lama telah menjadi bahan kajian para ahli didik barat, yaitu sejak zaman Yunani kuno. Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan kovergensi. Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah ada pada dirinya. Sedangkan menurut penganut empirisme adalah sebaliknya, perkembangan dan pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996).
Manusia pada hakikatnya diciptakan untuk mengemban tugas-tugas pengabdian kepada Penciptanya. Agar tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik, maka Sang Pencipta telah menganugerahkan manusia seperangkat potensi yang dapat ditumbuhkembangkan. Potensi yang siap pakai tersebut dianugerahkan dalam bentuk kemampuan dasar, yang hanya mungkin berkembang secara optimal melalui bimbingan dan arahan yang sejalan dengan petunjuk Sang Penciptanya. Mengacu kepada prinsip penciptaan ini maka menurut filsafat pendidikan Islam manusia adalah makhluk yang berpotensi dan memiliki peluang untuk dididik. Pendidikan itu sendiri, pada dasarnya adalah aktivitas sadar berupa bimbingan bagi penumbuh-kembangan potensi Ilahiyat, agar manusia dapat memerankan dirinya selaku pengabdi Allah secara tepat guna dalam kadar yang optimal. Dengan demikian pendidikan merupakan aktivitas yang bertahap, terprogram, dan berkesinambungan (Rodi Hartono, 2009).
Ahmad Tafsir (2006), di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu menegaskan bahwa semakin bertambahnya umur manusia, maka semakin banyak pengetahuannya. Dilihat dari segi motif, pengetahuan itu diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar.
Berbekal dari beberapa kutipan tentang hakikat manusia dan pendidikan di atas, makalah ini disusun dalam ruang lingkup kajian tentang manusia dan pendidikan dikaji dalam kajian filosofis dalam rangka merumuskan tafsiran tentang manusia yang berkualitas serta pendidikan, dan pembelajaran yang seperti apa yang tepat untuk menjadikan manusia yang benar-benar menjadi manusia yang berkualitas.


















BAB II
KAJIAN FILSAFAT TENTANG MANUSIA, PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

A.   Hakikat Manusia

Membahas masalah hakikat manusia, Zaldy (2008) menjelaskan ada empat aliran yang dikemukakan yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran eksistensialisme.
1. Aliran Serba Zat
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi.
2. Aliran Serba Ruh
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain (selain ruh) yang rupanya ada dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh (Gazalba, 1992: 288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
3. Aliran Dualisme
Aliran ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling mempengaruhi.
4. Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu, yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri didunia ini.
Selaras dengan pernyataan Ari Ginanjar Agustian yang menyatakan bahwa hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat, maka aliran eksistensialisme yang memandang manusia sebagai satu kesatuan yang menyeluruh antara jasmaniah dan rohaniah, memberikan pemahaman kepada kita bahwa memang unsur rohaniah pada manusia itu jauh lebih penting daripada unsur jasmaniah. Ari Ginanjar juga memandang manusia yang berkualitas adalah manusia yang sukses dalam membangun kecerdasan Intelektual Quotient, Emosional Quotient dan Spiritual Quotient.
Kemudian didukung dengan pendapat dari Sukidi bahwa manusia yang berkualitas adalah manusia yang menonjol dalam tiga tingkat kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), penulis ingin mengemukakan bahwa didalam mewujudkan cita-cita manusia yaitu menjadi manusia yang berkualitas dalam segala hal, hendaklah manusia itu mengenal dirinya secara benar. Dengan mengenal diri yang sebenarnya, maka manusia itu akan dapat mengarahkan diri dan memimpin dirinya menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam membangun kecerdasan Emosional dan Spiritual, maka menurut Ari Ginanjar Agustian ada tujuh prinsip dasar yang akan melekat pada diri pribadi manusia yaitu: Jujur, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli. Dengan tujuh prinsip dasar yang dibangun dengan dasar kecerdasan emosional dan spiritual ini manusia secara sadar maupun tidak sadar akan menjadi pribadi yang berkualitas baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan maupun sebagai makhluk social.
Ketujuh prinsip dasar Emosional dan Spiritual Quotient (ESQ) bersumber dari dalam diri tepatnya berasal dari suara hati nurani yang mana suara hati nurani itu sendiri bersumber dari Nur Ilahi. Karena manusia yang telah mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dan manakala ia mengenal terhadap Tuhannya, maka ia sendiri tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Karena segala sikap dan perilakunya merupakan tajalli dari sifat-sifat ketuhanan yang melekat pada dirinya. Dengan melekatnya sifat-sifat ketuhanan ini maka manusia itu akan menjadi manusia yang sempurna dan berkualitas.

B.       MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Hubungan antara manusia dengan pendidikan diawali dari pertanyaan: "apakah manusia dapat dididik?. Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri menjadi dewasa tanpa perlu dididik? Kedua pertanyaan itu sejak lama telah menjadi bahan kajian para ahli didik barat, yaitu sejak zaman Yunani kuno. Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan kovergensi. Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah ada pada dirinya. Sedangkan menurut penganut empirisme adalah sebaliknya, perkembangan dan pertumbuhan manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996).
Demikian pentingnya pendidikan bagi perkembangan manusia secara utuh, maka hal yang sangat wajar jika manusia sibuk memikirkan pola pendidikan yang seperti apa yang tepat dan serasi untuk mewujudkan pribadi manusia yang berkualitas. Karena memang manusia perlu dididik dan dituntun dalam menjalani hidup yang serba dinamis.
Aliran konvergensi merupakan aliran yang menanggap bahwa manusia memiliki kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada perpaduan antara faktor dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan). Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan potensi/ bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan) bakat/ potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan baik. Lebih jauh Kohnstamm menambahnya dengan kemauan. Dengan demikian menurutnya, kemampuan seseorang akan berjalan dengan baik dan dapat dikembangkan secara maksimal, apabila ada perpaduan antara faktor dasar (potensi), faktor ajar (bimbingan) serta kesadaran dari individu itu sendiri untuk mengembangkan dirinya. Jadi disamping faktor potensi bawaan dan bimbingan dari lingkungan, untuk mengembangkan diri, seseorang perlu didorong oleh motivasi intrinsik (dorongan dari dalam dirinya). Ketiga aliran filsafat pendidikan barat ini menampilkan dua pandangan yang berbeda tentang hubungan manusia dan pendidikan. Pertama berpandangan pesimis (nativisme), sedangkan aliran kedua memiliki pandangan yang optimis (empirisme dan konvergensi). Tetapi tampaknya dalam perkembangan berikutnya pandangan yang kedua (optimisme) lebih dominan. Manusia memang hampir tak mungkin dapat berkembang secara maksimal tanpa intervensi pihak luar, dan oleh sebab itu manusia memerlukan pendidikan.
Kembali menyadari bahwa sumber kekuatan manusia adalah berasal dari dalam hati nurani yang bersumber dari Tuhan, maka pendidikan yang diterapkan hendaklah berprinsip pada prinsip ketuhanan. Dalam hal ini penulis membatasi prinsip tersebut dalam tujuh prinsip dasar ESQ. Dengan demikian tidak ada praktek pendidikan yang menyalahi kaidah, aturan dan norma yang ada bahkan akan menghasilkan produk yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan yaitu menjadi manusia yang berkualitas.
Maka tujuh prinsip tersebut adalah Jujur, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli. Maksudnya adalah praktek pendidikan yang harus diterapkan adalah pendidikan yang mengandung nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil dan peduli sehingga dapat menghasilkan output yang baik pula yaitu manusia yang memiliki sifat jujur, bertanggung jawab, berpandangan visioner, memiliki disiplin tinggi, mampu bekerjasama, berprilaku adil dan peduli terhadap apa yang ada disekelilingnya.
Pendidikan harus diselenggarakan secara jujur dengan tidak ada kecurangan. Fakta memberikan gambaran kepada kita betapa pendidikan itu sering dinodai dengan kecurangan, misalnya adanya praktek korupsi dalam dunia pendidikan. Praktek pendidikan yang seperti ini harus dihapuskan dan diganti dengan praktek pendidikan yang jujur.
Adanya tanggung jawab dalam dunia pendidikan juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan itu sendiri. Tidak adanya tanggung jawab misalnya kurangnya rasa tanggung jawab dari pelaku penyelenggara pendidikan, akan menghambat suksesnya pendidikan di Negara kita, maka mari tingkatkan tenggung jawab dalam mengemban tugas pendidikan.
Pendidikan juga hendaknya berorientasi kemasa depan, agar tujuan pendidikan itu dapat tercapai dengan terarah. Tidak adanya sikap visioner dalam dunia pendidikan, maka arah dan tujuan pendidikan tidak jelas dan produk yang dihasilkan juga tidak jelas.
Pendidikan harus diselenggarakan  dengan disilin. Tanpa disiplin yang tinggi maka pendidikan akan tidak memiliki wibawa dan akhirnya tidak memberikan hasil yang maksimal. Selain itu pendidikan hendaknya diselenggarakan dengan semangat kerjasama agar tercapai tujuan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan bersama.
Adil dan peduli juga menjadi sikap yang harus diemban bagi penyelenggara pendidikan. Manakala adil tidak lagi diutamakan, maka pendidikan tidak merata. Demikian juga kepedulian terhadap pendidikan akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pendidikan.

C.   Manusia dan Pembelajaran
            Ahmad Tafsir (2006), di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu menegaskan bahwa semakin bertambahnya umur manusia, maka semakin banyak pengetahuannya. Dilihat dari segi motif, pengetahuan itu diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar.
            Pada mulanya manusia terdorong untuk sekedar mengetahui segala sesuatu secara umum. Pada taraf ini manusia merasa puas dengan pencapaian umum deskriptif. Selanjutnya atas dorongan ingin tahu secara lebih memuaskan, kegiatan penyelidikan sampai pada pengetahuan khusus, konkret dan rinci. Dari pengetahuan demikian manusia mendapat kepastian hipotetik tentang hakikat keberadaan segala sesuatu. Pengetahuan inilah tang kemudian mendorong kreativitas manusia untuk merumuskan teknologi dengan kemampuan reproduksi tinggi yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup dan kehidupan.
            Dalam mengimplementasikan pendidikan yang memuat tujuh prinsip dasar ESQ seperti yang dikemukakan di atas, maka manusia harus menjalani proses pembelajaran yang juga mengandung nilai-nilai tersebut, yaitu pembelajaran yang Jujur, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli.











BAB III
KESIMPULAN

1.      Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu  merupakan berkaitan antara badan dan ruh. Hakikat pada manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh saja, tanpa kedua subtansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.

2.      Manusia Yang berkualitas adalah manusia yang mampu memaknai hakikat dirinya sebagai makhluk yang memiliki dua unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani dengan memaksimalkan ketiga tingkat kecerdasan IQ, EQ dan SQ dalam menjalani kehidupan.

3.      Ada tujuh prinsip dasar ESQ yang harus dikembangkan dalam merumuskan manusia yang berkualitas dan memaknai pendidikan dan pembelajaran, yaitu Jujur, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli.

4.      Manusia adalah sentral dari setiap aktivitas, sehingga persoalan-persoalan yang mungkin muncul merupakan persoalan yang menyangkut kepentingan manusia. Dalam menyikapi dan mengatasi persoalan tersebut, sebagai manusia harus dapat menyelesaikannya dengan arif dan bijaksana. Maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan meningkatkan mutu sebagai manusia. Cara yang tepat adalah melalui pengembangan Kejujuran, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli.

5.      Langkah yang ditempuh untuk dapat merumuskan teknologi adalah dengan melalui pembelajaran. Tentu saja dalam hal ini adalah pembelajaran yang mengandung nilai-nilai Kejujuran, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin, Kerjasama, Adil dan Peduli.


DAFTAR BACAAN

Agustian, A. G. (200). Emotional Spiritual Quotient. Penerbit Arga: 2000
Gazalba, S. (1990). Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Kanisius: Yogyakarta.
Hartono, Rodi. (2009). Hakikat Manusia dalam Praktek Pendidikan. STAIN Kerinci: Jambi.
Jalaluddin. (2003). Teologi Pendidikan. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. (2001). Pengantar Filsafat Umum. IAIN Press : Medan.
Mudyahardjo, Redja. (2001). Filsafat Ilmu Pendidikan. PT. Remaja Rosda Karya: Bandung.
Suhartono, Suparlan. (2005). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Penerbit : Ar-Ruzz Media : Jogjakarta.
Sukidi. (2004). Kecerdasan Spiritual, Mengapa SQ lebih penting dari IQ dan EQ. Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.
Suriasumantri, Jujun. ( 1982). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.
Syam, Mohammad Nur. (1986). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Penerbit Usaha Nasional : Surabaya.
Tafsir, Ahmad. (2006). Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemology, dan Aksiologi Pengetahuan. PT. Remaja Rosda Karya : Bandung.



0 komentar:

Posting Komentar